Sisi Lain Di Balik Fenomena Citayam Fashion Week
Senin, 25 Juli 2022 | 08.00 WIB
Penulis: Erna Ummu Aqilah
Focustangerang.com – Belakangan ini ramai diperbincangkan khalayak luas tentang Citayam Fashion Week (CFW). Berita ini viral bukan hanya di media sosial saja, tetapi juga ditayangkan berbagai stasiun televisi bahkan sampai diangkat oleh beberapa media asing.
Citayam Fashion Week sendiri bermula dari rombongan remaja tanggung yang berasal dari Citayam, Bojong, Bogor, Depok dan sekitarnya, mereka kerap nongkrong-nongkrong di Dukuh Atas. Dengan semakin indahnya kawasan Sudirman khususnya Stasiun Dukuh Atas, dan juga Terowongan Jalan Kendal, membuat para remaja gemar nongkrong hingga menghabiskan malam di Stasiun Moda Raya Terpadu (MRT) Dukuh Atas, Kelurahan Kebon Melati Tanah Abang Jakarta Pusat.
Para ABG ini, selain nongkrong juga kerap membuat konten TikTok dan Medsos lainnya. Sehingga berhasil viral dan semakain menarik perhatian masyarakat secara luas. Konten yang mereka angkat biasanya seputar busana yang mereka kenakan, juga tentang kisah percintaan.
Fenomena ini jika dipandang dari sisi kapitalis, merupakan sesuatu yang dianggap positif. Sebab, mereka yang rata-rata masih ABG dan dari kalangan menengah ke bawah ini, sudah mampu menghasilkan pundi-pundi rupiah.
Dengan semakin viralnya, mereka mampu mengundang perhatian berbagai kalangan untuk ikutan mulai artis, pejabat, bahkan sampai kaum pelangi pun turut meramaikan kawasan Sudirman tersebut. Bahkan ada yang menjadi bintang tamu di berbagai acara televisi, hingga diajak ngonten bersama artis-artis ternama, dan tentunya mampu mendatangkan keuntungan secara materi.
Sistem kapitalis sekuler saat ini, memang telah berhasil menjauhkan masyarakat dari ajaran agamanya. Agama hanya dianggap sebagai ritual semata. Sehingga dalam berfikir dan berperilaku tidak lagi mengedepankan halal dan haram. Mereka tak lagi peduli dengan rasa malu, asalkan menguntungkan secara materi pasti akan terus diapresiasi.
Hasil dari sistem saat ini hanya mampu menghasilkan remaja yang rapuh, mereka hobi menghabiskan waktu dengan nongkrong, berpacaran, mengumbar aurat, berbaur dengan lawan jenis dan cenderung memiliki sifat hedonis.
Kita sadari di usia remaja identik dengan masa pencarian identitas diri. Di mana mereka ingin dihargai, menjadi pusat perhatian, mandiri, gaul, dan cenderung mudah meniru apa saja yang dianggapnya dapat mendatangkan kesenangan, tak jarang rawan terjerumus dalam rusaknya pergaulan.
Tentu sangatlah berbeda jika dibandingkan dengan generasi muda, yang dibina dengan aqidah Islam. Sejarah telah membuktikan mereka mampu mencetak peradaban yang sangat gemilang. Sebab mereka senantiasa berpegang teguh pada aturan-aturan Islam. Sehingga tumbuh menjadi pemuda yang tangguh, berkarakter kuat, sekaligus berahlak mulia. Diantaranya ada Ali, Usman, Zaid, Sa’ad, Usamah, Zubair, Muadz, Muhammad Al Fattih, dan masih banyak lagi yang lainnya. Semuanya adalah pemuda yang dibina dengan akidah Islam.
Belum terlambat untuk kita menyadarkan mereka, agar tidak menyia-nyiakan masa muda. Sebab masa depan bangsa ini ada dipundaknya. Dan satu-satunya jalan adalah dengan menerapkan pendidikan berbasis akidah, yang didukung sepenuhnya oleh negara dengan menerapkan seluruh syariat Nya. Sehingga mampu mencetak generasi yang cerdas, tangguh, berkarakter kuat, hebat di berbagai bidang, sekaligus memiliki ahlak yang mulia. Sehingga mampu menggantikan peradaban yang ada, menuju peradaban yang sangat mulia, aamiin.