Penulis : Hana Annisa Afriliani, S.S (Aktivis Muslimah, Editor, dan Penulis Buku)
Focustangerang.com – Persoalan stunting di negeri ini tampaknya masih menjadi pekerjaan rumah besar bagi pemerintah. Pasalnya, angka kasus stunting di Indonesia mencapai 24,4%, melebihi standar WHO yakni 20%. Adapun menurut World Health Organization (WHO), stunting adalah gangguan perkembangan pada anak yang disebabkan oleh gizi buruk, infeksi yang berulang, dan simulasi psikososial yang tidak memadai.
Oleh karena itulah, Pemerintah Kabupaten Tangerang melalui Dinas Pengendalian Penduduk dan Keluarga Berencana (DPPKB) menggelar Peringatan Hari Keluarga Nasional (HARGANAS) ke-29 Tahun 2022 di Kantor Estate Suvarna Padi, Golf Estate, Jl. Padi Utama Kecamatan Sindang Jaya, Rabu (29/6/2022) dengan mengangkat tema “Ayo Cegah Stunting Agar Keluarga Bebas Stunting”. Lewat momentum tersebut, pemerintah menggagas percepatan penurunan stunting dengan mengoptimalkan peran bimbingan keluarga dan pentingnya keluarga sebagai sumber kekuatan untuk ketahanan nasional dan pembangunan bangsa.
Akar Persoalan Stunting
Tak bisa dipungkiri, faktor utama terjadinya stunting adalah kurangnya asupan gizi anak pada 1000 Hari Pertama Kehidupan (HPK). Padahal sejatinya di 1000 HPK itulah, tumbuh kembang tubuh dan otak anak sangat pesat, yakni sejak berupa janin dalam kandungan hingga usia 2 tahun. Mirisnya, fakta di Indonesia, akses terhadap makanan bergizi seimbang belum merata. Padahal pemenuhan gizi seimbang menjadi hal yang penting dilakukan di 1000 HPK tersebut, karena akan menentukan proporsi tubuh dan tingkat kecerdasan seorang anak.
Adapun ketidakmerataan akses gizi seimbang di tengah masyarakat adalah dipengaruhi oleh faktor ekonomi, apalagi di masa pandemi. Banyak masyarakat yang kian terjepit secara ekonomi karena gelombang PHK besar-besaran yang melanda negeri ini di awal masuknya pandemi kemarin. Menyusul hal tersebut, angka kemiskinan kian melonjak. Sebagaimana dilansir oleh Republika.co.id (27-06-2022), bahwa Pemerintah Kabupaten Tangerang melaporkan angka kemiskinan di wilayahnya adalah sebesar 6,2 %. Sementara itu, angka kemiskinan di Kota Tangerang pada 2022 yakni 134,24 ribu jiwa. Kepala Badan Pusat Statistik (BPS) Kota Tangerang, Muladi Widastomo, mengatakan angka tersebut mengalami kenaikan dari sebelumnya sebanyak 118,22 ribu jiwa.
Demikianlah realita yang terpotret di tengah masyarakat hari ini. Kehidupan kian sempit, nasib rakyat kian terimpit. Dapat dikatakan, banyaknya kasus stunting tentu saja tak bisa dilepaskan dari tingginya angka kemiskinan tersebut. Bagi warga miskin, alih-alih memenuhi gizi seimbang pada anak, untuk bisa makan tiga kali sehari saja merupakan hal yang istimewa.
Sungguh ironis! Negeri yang berjuluk ‘gemah ripah loh jinawi’ ini nyatanya menyimpan nelangsa bagi anak bangsa. Jelas ini persoalan sistemis, bukan sekadar ketidakmampuan individu bersaing di era globalisasi ini. Tidaklah berlebihan jika dikatakan bahwa pemerintah hari ini telah gagal dalam mengurus urusan rakyatnya. Padahal sudah menjadi kewajiban negara menjamin kesejahteraan rakyatnya. Namun, kenyataannya kesejahteraan para korporatlah yang justru lebih diutamakan.
Beginilah konsekuensi logis atas penerapan sistem ekonomi kapitalisme. Hitung-hitungan untung-rugi menjadi asasnya, sehingga negara pun menjelma layaknya pelaku bisnis terhadap rakyatnya sendiri. Berbagai akses layanan publik seolah dipersulit, rakyat harus menanggung sendiri dengan merogoh kocek yang cukup dalam jika ingin pelayanan berkualitas. Padahal bukankah mendapat layanan publik berkualitas yang murah bahkan gratis adalah hak rakyat? Negara wajib menjamin itu.
Faktanya tidaklah demikian. Negara dalam asuhan sistem kapitalisme tidak memerankan dirinya sebagai pengurus urusan rakyat, melainkan hanya sebagai regulator yang menghubungkan antara rakyat dengan pengusaha. Negara berlepas tangan terhadap kepengurusan atas rakyatnya. Maka, wajar jika hari ini rakyat seperti berjuang sendiri dalam memperoleh sejahtera.
Peran Negara Atasi Stunting
Negara memiliki peran strategis dalam menyejahterakan rakyatnya. Dengan terwujudnya kesejahteraan, maka persoalan stunting pun dapat diatasi. Adapun Islam memiliki mekanisme yang komprehensif dalam mewujudkan kesejahteraan tersebut, mulai dari menyediakan lapangan pekerjaan yang memadai bagi kaum laki-laki, mengelola harta kepemilikan sesuai aturan syariat Islam, serta menjamin barang kebutuhan pokok dapat dijangkau rakyat dengan harga murah.
Dalam kacamata Islam, seorang laki-laki memiliki kewajiban sebagai pencari nafkah bagi keluarganya, sementara perempuan tidak dibebankan kewajiban tersebut. Maka, negara akan menyediakan lapangan kerja bagi para kepala rumah tangga tersebut seluas-luasnya, demi memfasilitasi mereka agar dapat melaksanakan kewajiban mereka. Sebagaimana dahulu Rasulullah saw memberikan sebuah kapak kepada seorang laki-laki yang meminta sedekah kepada Rasulullah saw. Beliau menginginkan laki-laki itu mencari kayu dengan kapak tersebut, lalu menjual hasilnya ke pasar.
Rasulullah saw bersabda:
“Tidak ada yang lebih baik dari usaha seorang laki-laki kecuali dari hasil tangannya (bekerja) sendiri. Dan apa saja yang dinafkahkan oleh seorang laki-laki kepada diri, istri, anak dan pembantunya adalah sedekah.” (HR. Ibnu Majah)
Adapun terkait aturan kepemilikan harta dalam Islam, maka dibagi menjadi tiga, yakni kepemilikan individu, negara, dan umum. Harta kepemilikan individu adalah apa-apa yang diraih seorang individu atas hasil usahanya, misalnya bekerja, berburu, bertani, dan berjual beli. Atau bisa juga diraih dengan tanpa usaha, misalnya hadiah, hibah, dan warisan. Sedangkan harta kepemilikan umum mencakup sumber daya alam yang depositnya tidak terbatas dan menyangkut hajat hidup rakyat banyak, seperti tambang emas, batu bara, listrik, air, serta fasilitas umum seperti jalanan, sungai,danau, dll. Semua itu haram diprivatisasi oleh individu atau korporasi, melainkan boleh digunakan oleh seluruh rakyat, dengan mekanisme langsung atau dikelola dahulu oleh negara untuk kemudian hasilnya dikembalikan untuk kemaslahatan rakyat. Sedangkan harta kepemilikan negara mencakup fai, khaaraj, ghanimah, khusus atas rikaz, dll. Harta ini dikelola untuk menopang pula segala kemaslahatan rakyat, salah satunya untuk membiayai infrastruktur.
Dengan adanya pembagian harta kepemilikan tersebut secara jelas, maka distribusi kekayaan akan merata di tengah umat. Tidak akan ada penghegemonian harta oleh segelintir elite, apalagi sampai menguasai SDA yang sejatinya milik umum.
Demikianlah pengaturan sistem Islam dalam rangka mewujudkan kesejahteraan rakyat, sehingga kasus stunting takkan terjadi seperti halnya dalam sistem kapitalisme hari ini. Hal tersebut tak bisa juga dilepaskan dari keberadaan seorang pemimpin yang bertakwa dan amanah. Dengan ketakwaan pemimpin dalam sistem Islam, maka ia akan berupaya menjalankan kepemimpinannya dengan penuh tanggung jawab dan rasa takut akan pertanggungjawabannya di akhirat kelak. Sebagaimana terpotret di masa Khalifah Umar bin Khattab r.a. yang gemar berkeliling di malam hari demi memastikan tak ada rakyatnya yang kelaparan, dengan hanya ditemani ajudannya, tanpa sorot kamera apalagi liputan media. Ketika benar didapati ada seorang ibu yang memasak batu untuk anak-anaknya yang menangis kelaparan, Umar langsung memanggul sendiri karung gandum untuk keluarga itu. Hal tersebut ada wujud tanggung jawab penguasa terhadap rakyatnya. Umar menangis saat melihat ada rakyatnya kelaparan, lantas bagaimana dengan pemimpin hari ini yang mendapati rakyatnya tenggelam dalam kemiskinan massal bahkan anak-anak generasi masa depan mengalami stunting? Saatnya bermuhasabah.