Kasus filisida (filicide) atau orangtua yang membunuh anak kandung mereka sendiri, terjadi hampir setiap tahun di Indonesia. Kasus terbaru yang menggemparkan terjadi pada Minggu, 20 Maret yang lalu. Seorang ibu berinisial KU (35) di Desa Tonjong, Kecamatan Tonjong, Brebes, Jawa Tengah, melakukan penganiayaan/percobaan pembunuhan terhadap tiga anaknya sendiri menggunakan cutter. Dalam kejadian ini mengakibatkan satu anak meninggal dunia, dan dua lainnya mengalami luka-luka dan tengah mendapat perawatan intensif di rumah sakit.
Satu bulan sebelumnya terjadi juga kasus serupa. Tepatnya Sabtu 12 Februari 2022, seorang ibu di Kalimantan Tengah (Kalteng) berinisial AR (29), tega membunuh anak perempuannya menggunakan parang. Jenazah korban yang baru berusia 2 tahun kemudian dibuang ke Sungai Barito.
Sedangkan di wilayah Polres Metro Tangerang Kota, Senin 8 Maret 2021 telah ditangkap seorang ibu berinisial MD di Kecamatan Jatiuwung, Kota Tangerang yang tega membunuh bayinya sendiri. Tak hanya membunuh bayi yang baru saja dia lahirkan, tersangka MD juga membuang jasad bayinya di sebuah pembuangan sampah di Gembor, Kota Tangerang.
Kasus yang sama juga terjadi pada 26 Agustus 2020, seorang ibu di Lebak Banten berinisial LH (26) membunuh anaknya yang berusia 8 Tahun, hanya karena sang anak tidak mengikuti arahannya di saat pembelajaran online.
Masih banyak lagi kasus sejenis berderet dari tahun ke tahun di berbagai tempat di Indonesia. Jumlah kasus yang ditemukan akan sangat mencengangkan. Pertanyaan besarnya adalah, apa yang menyebabkan semua hal mengerikan tersebut terjadi, mengapa sosok ibu yang begitu lembut dan penyayang pada akhirnya menjadi pembunuh darah dagingnya sendiri?
Banyak faktor yang melatar belakangi kejadian mengerikan tersebut. Tidak dapat dipungkiri bahwa kesulitan ekonomi sangat berdampak pada kondisi rumah tangga setiap keluarga. Semakin melambungnya harga bahan-bahan pokok kian mencekik perekonomian masyarakat. Angka pengangguran yang terus meningkat diperparah dengan minimnya lapangan pekerjaan, inilah kemudian yang membuat kepala keluarga tidak dapat memberikan nafkah untuk keluarganya. Pada akhirnya kebutuhan rumah tangga tidak dapat terpenuhi.
Ketidakberdayaan dalam menghadapi kondisi ini semakin membuat masyarakat menjadi frustasi. Beban berat tidak hanya milik suami sebagai pencari nafkah. Beban berat ikut dipikul oleh seorang istri. Peran merekapun bertambah, selain berperan sebagai seorang istri dan seorang ibu yang harus pandai mengatur rumah tangga. Peran sebagai pencari nafkah ikut mereka pikul. Sebab jika ingin bertahan hidup tentu tidak hanya dengan berpangku tangan saja. Semakin banyak peran yang harus dimainkan oleh seorang ibu rumah tangga, maka beban merekapun semakin bertambah. Sudah harus mengurus pekerjaan rumah, mengurus anak-anak, mereka juga dituntut untuk dapat menyelesaikan pekerjaan di luar rumah.
Selain faktor ekonomi, abainya perhatian dari pasangan dan kurangnya komunikasi yang baik, membuat seorang ibu menjadi lebih rentan mengalami depresi. Di saat seorang istri ingin berkeluh kesah dan melepas sedikit penat, namun tidak ada sosok suami untuk dijadikan pendengar. Akan lebih buruk lagi jika ditambah sosok pasangan yang ringan tangan, atau berlaku kasar. Kebutuhan istri untuk merasa aman dan terlindungi tidak juga didapatkannya. Sudah lelah fisik, psikis pun ikut dihantam. Jika sudah seperti ini, biasanya seorang ibu akan melimpahkan kekesalan dan rasa frustasi yang tidak bisa ia limpahkan kepada pasangannya, maka akan ia limpahkan kepada anak-anaknya.
Faktor selanjutnya adalah kurangnya pemahaman akidah yang benar. Akidah adalah keyakinan yang kokoh atas sesuatu sehingga tidak ada keraguan yang mengiringinya. Termasuk meyakini ketetapan Allah yang baik maupun yang buruk bagi dirinya. Seperti yang diungkapkan oleh Abdullah Azzam. Akidah merupakan iman dengan semua rukun-rukunnya, yang dimaksud adalah rukun iman yang berjumlah 6 rukun, yaitu kepercayaan akan adanya Allah Swt, malaikat-malaikat Allah, kitab-kitab Allah, nabi-nabi Allah, hari akhir, serta qadha dan qadar.
Ketika pemahaman akidahnya salah, maka cara pandangan hidupnya akan turut serta salah. Sistem yang digunakan saat ini juga ikut andil dalam memperburuk kondisi masyarakat. Masyarakat menjadi lebih liberal dan sekuler, jauh dari Tuhan dan agamanya. Hal ini akan membuat seseorang mudah terkena depresi, ketika menghadapi berbagai persoalan kehidupan yang semakin sulit, dan mudah bertindak di luar akal sehatnya.
Faktor lingkungan yang abai dan individualis ikut berperan dalam permasalahan ini, masyarakat tidak lagi peduli dengan sesamanya. Tidak lagi ada empati ketika melihat kesulitan orang lain. Tidak heran memang, sebab dalam sistem sekuler liberal masyarakat sengaja dijauhkan dari agamanya, mereka hanya disibukkan dengan persoalan pribadi, tidak ada lagi keperdulian sosial. Belum lagi pola pikir ala kapitalis yang telah tertanam dalam masyarakat kita, semua hal dikaitkan dengan materi, sampai perasaan nyaman dan bahagiapun akan terpenuhi jika segala materi telah kita dapatkan. Jika segala sesuatu tidak didapatkan, atau pemenuhan kebutuhan hidupnya tidak terpenuhi timbul rasa frustasi dan depresi.
Faktor terakhir dan paling utama adalah ketidak hadiran negara di tengah-tengah masyarakat. Negara abai dalam memberikan kesejahteraan, pelayanan yang maksimal dan rasa aman bagi masyarakat. Rakyat dibiarkan berjuang sendiri, dalam memenuhi kebutuhan dasar hidupnya di tengah kondisi ekonomi yang semakin sulit. Keadaan ini membuat masyarakat semakin tertekan, apa lagi kebijakan pemerintah yang tidak pernah memihak kepada mereka, dan justru menambah beban mereka. Mulai dari biaya pendidikan yang semakin tinggi, biaya pengobatan yang tidak murah, dan melonjaknya semua bahan kebutuhan pokok.
Melihat berbagai faktor tersebut, maka tidak mengherankan jika masyarakat terutama seorang ibu menjadi sangat depresi, sehingga mereka melakukan hal-hal di luar nalar. Jika di dalam rumahnya sendiri, mereka tidak mendapatkan perhatian dan kasih sayang dari pasangan atau keluarga terdekatnya. Dan ketika berada di lingkungan masyarakat, mereka juga tidak mendapatkan perhatian dari lingkungan sekitar akan kemana lagi mereka bersandar, jika ternyata harapan terakhir mereka ada pada penguasa negeri ini, dan kembali hanya kekecewaan yang mereka dapatkan.
Hanya dalam sistem Islam negara benar-benar hadir menjadi perisai dan pelindung masyarakat. Bertanggung jawab penuh akan kesejahteraan dan keamanan semua masyarakat. Memastikan semua kebutuhan dasar masyarakat terpenuhi, kebutuhan sandang, pangan dan papan tidak lagi menjadi hal yang sulit untuk didapatkan. Dengan demikian fokus para orangtua hanya pada bagaimana mendidik, dan menjadikan anak-anak mereka menjadi generasi yang gemilang.
Dalam sistem Islam, negara akan memastikan setiap kepala keluarga mendapatkan pekerjaan yang layak, sehingga tidak ada lagi perselisihan dengan pasangan karena terhimpit masalah ekonomi. Dengan sistem ini juga pemahaman akidah yang lurus akan terus dijaga, pondasi keimanan pun akan terpatri kuat dalam sosok setiap individu. Untuk kemudian menjadikan para individu ini menjadi masyarakat yang kuat, tidak mudah berputus asa, serta tidak mudah mengalami depresi hanya karena himpitan ekonomi, dan persoalan hidup yang berat.
Wallahu A’lam bisshowab
Oleh: Hidayati Sundari (Pengajar & Penggiat Literasi)