Kota Layak Anak Gagal Menekan Kasus Kekerasan Terhadap Anak
Senin, 26 September 2022 | 19.19 WIB
Penulis: Eno Fadli (Pemerhati Kebijakan Publik)
Focustangerang.com – Indonesia sebagai negara yang telah meratifikasi Konvensi Hak-hak Anak (KHA) berkomitmen akan membangun Negara Layak Anak. Upaya untuk mewujudkan Indonesia menjadi Negara Layak anak dimulai dengan pelaksanaan kebijakan pengembangan Kota Layak Anak (KLA) pada tahun 2011.
KLA merupakan sebuah gagasan untuk menciptakan lingkungan yang dapat menunjang tumbuh kembangnya anak dengan baik. Menurut UNICEF, KLA merupakan kota yang menjamin hak setiap anak sebagai warga kota, KLA dapat diwujudkan dengan cara:
- Menyediakan akses layanan kesehatan, pendidikan, dan sarana penunjang lainnya.
- Menyediakan kebijakan dan anggaran khusus anak.
- Menyediakan lingkungan yang aman dan nyaman bagi anak.
- Memberikan keseimbangan pada anak di bidang sosial, ekonomi, dan anak terlindungi dari pengaruh kerusakan lingkungan dan bencana alam.
- Memberikan perhatian khusus pada anak yang bekerja di jalanan, dan mengalami eksploitasi seksual, hidup dengan kecacatan atau tidak mendapatkan dukungan dari orang tua.
- Menyediakan wadah bagi anak untuk dapat berperan serta dalam pembuatan keputusan yang berpengaruh langsung pada kehidupan anak.
Program ini lebih terarah lewat Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 25 Tahun 2021, yang menjelaskan kebijakan KLA dengan tujuan mewujudkan sistem pembangunan yang menjamin pemenuhan hak anak dan perlindungan khusus anak yang dilakukan secara terencana, menyeluruh dan berkelanjutan (Perkim.com, 09/09/2021).
Faktanya, tujuan untuk menciptakan lingkungan yang aman dan nyaman bagi anak tampaknya tidak terwujud, melihat kasus kekerasan terhadap anak tidak kunjung menurun malah mengalami kenaikan dengan berbagai kasus. Kasus kekerasan pada anak didominasi pada kasus kekerasan seksual. Menurut Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA) melaporkan ada 797 kasus anak yang menjadi korban kekerasan seksual sepanjang Januari 2022, ini setara dengan 9,13 persen dari total kasus anak menjadi korban kekerasan seksual pada tahun 2021 yang mencapai 8.730 kasus. Peningkatan jumlah anak yang menjadi korban kekerasan seksual terlihat dari kasus yang terdata pada tahun 2019 yang mencapai 6.545 kasus, mengalami peningkatan pada tahun 2020 menjadi 6.980 kasus, pada tahun 2021 kembali mengalami kenaikan menjadi 8.730 kasus.
Kasus kekerasan terhadap anak yang terjadi, pelakunya dimulai dari orang-orang terdekat korban, lingkungan sekitar sampai pada lingkungan pendidikan. Misalnya terjadinya pemerkosaan inses yang dilakukan seorang ayah terhadap tiga anak perempuannya di Sulawesi Selatan. Demikian juga kasus yang terjadi baru-baru ini yang tengah diselidiki oleh Polda Metro Jaya mengenai kasus penyekapan dan eksploitasi anak dibawah umur selama 1,5 tahun, dimana korban yang berumur 15 tahun dijanjikan pekerjaan dengan imbalan atau penghasilan yang besar tetapi kenyataanya korban dijadikan pekerja seks komersial sebagai pemuas nafsu para pria hidung belang (Republika.com, 19/09/2022).
Lembaga Save the Children sebagai lembaga yang melakukan pendampingan terhadap kasus kekerasan pada anak, mendapati di Pulau Sumba Nusantara Timur (NTT) 32 kasus kekerasan anak dengan 28 kasus yang dialami oleh anak perempuan, dan ini terjadi di lingkungan pendidikan (Tempo.com,13/09/2022).
Peningkatan kasus kekerasan pada anak yang terjadi membuktikan bahwa program KLA yang dicanangkan oleh pemerintah belum mampu untuk menekan kasus kekerasan pada anak, dan ini menunjukkan kegagalan negara dalam melindungi anak.
Masifnya kasus kekerasan pada anak, Islam tentunya mempunyai mekanisme untuk mencegah dan mengatasinya. Tren kasus yang terjadi didominasi pada kasus kekerasan seksual, faktor penyebabnya sebagian besar dari faktor lingkungan baik itu dari keluarga dan lingkungan sekitar korban, juga didapati dari faktor pendidikan dan ekonomi. KLA dengan berbagai kemandulan di setiap programnya tidak mampu menekan angka kasus kekerasan terhadap anak. Penyelesaian secara sistematis dari akar masalah sampai pemberian sanksi menjadi solusi jitu yang ditawarkan dalam Islam.
Dalam Islam keluarga sangat berpengaruh dalam tumbuh kembang anak. Anak merupakan amanah Allah SWT yang diberikan kepada orang tua. Dengan amanah tersebut sudah seharusnya orang tua bertanggung jawab memenuhi kebutuhan untuk tumbuh kembangnya, dijaga dari segala sesuatu yang dapat menyakiti dan membahayakannya, mendidiknya baik jasmani, rohani serta akalnya agar mereka menjadi pribadi yang mandiri dalam mengarungi kehidupan dan memikul tanggung jawabnya sebagai seorang hamba. Sebagaimana diriwayatkan oleh Al-Hakim dan Baihaqi, Rasulullah SAW bersabda:
“Tiada suatu pemberian pun yang lebih utama dari orang tua kepada anaknya selain pendidikan yang baik”.
Masyarakat juga berperan aktif dan berfungsi sebagai kontrol sosial. Upaya-upaya pencegahan dalam tindakan pelanggaran, melakukan amar-makruf nahi mungkar sehingga dapat terwujud lingkungan yang penuh dengan ketakwaan. Dari aspek pergaulan juga menjadi penyumbang terjadinya kekerasan pada anak, untuk itu wajib pergaulan antara laki-laki dan perempuan diatur berdasarkan hukum syara’, sehingga kemungkinan-kemungkinan yang dapat mengarahkan kepada kekerasan seksual akan dapat diminimalisir.
Dan tidak kalah penting peran dari negara, dimana negara dalam sektor ekonomi memberikan jaminan akan pemenuhan kebutuhan setiap individu warga negaranya, sehingga dengan jaminan ini masyarakat akan merasa tenang dan tentram. Orang tua akan dapat memaksimalkan perannya dalam memenuhi kebutuhan anak, menjaga dan mendidik anak-anaknya tanpa memusingkan bagaimana kebutuhan hidup mereka dapat terpenuhi dengan baik.
Pengaturan media dalam penyebaran informasi di masyarakat juga diatur oleh negara, penyebaran informasi-informasi yang menonjolkan kebebasan, serta segala bentuk penyimpangan secara syara’ akan dimintai pertanggung jawaban dan ditindak tegas oleh negara,informasi yang boleh beredar adalah informasi yang menonjolkan segala kebaikan.
Dalam bidang pendidikan pun diatur dengan sistem pendidikan Islam. Pendidikan dalam Islam bertujuan membentuk individu berkepribadian Islam sehingga melahirkan generasi yang memegang erat identitas keislamannya, hal ini akan tampak dari pola pikir dan pola sikap mereka. Pengajaran diberikan oleh tenaga pendidik yang mumpuni dan mempunyai kepribadian Islam, sehingga terciptalah lingkungan pendidikan yang penuh dengan ketakwaan.
Negara pun akan memberikan sanksi tegas pada pelaku kekerasan, sanksi yang akan memberikan efek jera kepada pelakunya. Dengan mekanisme inilah, kekerasan pada anak dapat diminimalisir, karena kasus kekerasan pada anak yang terjadi merupakan masalah yang sistematis, penyelesaiannya pun harus dengan penyelesaian yang sistematis pula, dan ini hanya didapat dalam penerapan aturan Islam.