Oleh: Erna Ummu Aqilah
Belakangan ini umat muslim di Indonesia dibuat gaduh dengan terbitnya Surat Edaran Kementerian Agama. Konon surat tersebut diterbitkan sebagai upaya dalam meningkatkan ketenteraman, ketertiban dan keharmonisan antar warga masyarakat.
Aturan tersebut tertuang dalam Surat Edaran Menteri Agama No. SE 05 tahun 2022, tentang pedoman pengeras suara di Masjid dan Mushola. Mengatur mulai batas maksimum 100 desibel hingga batas waktu penggunaannya.
Setiap selesai sholat banyak jamaah yang berkerumun membahas persoalan ini. Mayoritas mereka keberatan dan menolak aturan tersebut. Sebab bagi masyarakat Indonesia sendiri, keberadaan pengeras suara di Masjid dan Mushola merupakan hal biasa, yang sudah ada sejak puluhan tahun silam.
Baca juga: Kasih Sayang Itu Selamanya, Tak Dibatasi Valentine
Kalaupun alasannya untuk meningkatkan ketenteraman dan ketertiban alasan ini dianggap mengada-ada. Sebab mayoritas penduduk Indonesia beragama Islam, dan sudah terbiasa dengan suara azan yang bersaut-sautan. Sebab azan merupakan panggilan sholat yang selalu dinantikan.
Begitu pula dengan kebiasaan membangunkan sahur saat bulan Ramadhan, dengan cara berkeliling sambil membunyikan berbagai alat sambil bernyanyi. Apalagi saat hari raya tentu suara takbir berkumandang bersaut-sautan dipenjuru negeri. Bagi warga non muslim tentu semua itu sudah mereka fahami, sehingga sudah terbiasa dan tidak dipermasalahkannya.
Kalau alasan panggilan azan bersaut-sautan dan kencang di saat yang bersamaan dianggap mengganggu, dan sampai diumpamakan dengan gonggongan anjing tentu kita merasa miris. Sebab yang namanya azan itu panggilan sholat, pasti waktunya bersamaan, bersaut-sautan, dengan nada dan lafad yang sama pula. Kalo suara gonggongan anjing tentu tidak jelas waktunya wajar jika mengganggu.
Baca juga: Hormati dan Muliakan Bulan Rajab
Negara kita meskipun mayoritas penduduknya muslim, tapi mereka sudah terbiasa dengan yang namanya toleransi dengan umat lainnya. Bagi warga non muslim tentu mereka menyadari, bila tinggal dekat Masjid atau Mushola pasti akan terbiasa mendengar suara azan.
Begitu pula bagi umat yang tinggal di lingkungan non muslim, pasti juga akan terbiasa dengan berbagai aktivitas warga lainnya. Contoh, muslim yang tinggal di Bali mereka akan menerima saat hari raya Nyepi, untuk tidak melakukan aktivitas di luar rumah. Begitu pula ketika tinggal di dekat Gereja akan terbiasa mendengar suara lonceng Gereja, terbiasa mencium bau dupa yang dibakar oleh umat Hindu atau Konghucu, bunyi kerasnya suara Barongsai, suara musik saat ada warga yang hajatan bahkan sampai menutup sebagian jalanan. Tapi mereka semua hidup harmonis tanpa mengganggu dan merasa keberatan apalagi dirugikan.
Justru sekarang kenapa muncul Surat Edaran Menag, yang mengatur bunyi pengeras suara di Masjid dan Mushola dengan dalih meningkatkan ketenteraman, ketertiban dan keharmonisan. Wajar jika muncul anggapan di tengah masyarakat bahwa Menag sedang berusaha memadamkan cahaya dan syiar Islam bahkan hingga diduga islamofobia.
Baca juga: Bercanda Tanpa Ilmu Berujung Pilu
Dalam sebuah Hadis Rasulullah Saw telah bersabda:
“Apabila azan (sholat) diserukan maka setan lari sambil terkentut-kentut sehingga dia tidak mendengar suara azan itu. Apabila dia (mu’azin) menyelesaikan azan maka ia (setan) datang kembali, sampai iqomah sholat dikumandangkan ia (setan) lari. Sampai ketika ia (muazin) menyelesaikan iqomah, dia (setan) datang kembali sehingga dia melintas diantara seseorang dan jiwanya. Dia berkata “ingatlah ini ingatlah itu, tentang suatu yang tidak pernah dia ingat sebelumnya. Sehingga orang itu tidak sadar berapa rakaat yang telah dilaksanakan? (HR. Bukhari dan Muslim).
Berdasarkan dalil di atas, azan merupakan panggilan sholat sekaligus media pengusir setan. Bagi muslin yang mengumandangkan azan atau mendengarkan tentu berpahala, bahkan di antara azan dan iqomah terdapat waktu mustajab untuk berdoa. Jadi hanya seetan dan musuh-musuh Islam lah yang takut dan terganggu dengan suara azan, lalu untuk kepentingan siapa sebenarnya aturan Menag tersebut? Wallahu a’lam bishshawwab.
(Red-Focus)