Oleh: Eno Fadli (Pemerhati Kebijakan Publik)
Focustangerang.com – Masyarakat mengeluhkan pertalite yang sulit didapat, sekali didapat harus mengantri dengan antrian yang lumayan panjang, banyak yang menduga jika pertalite sulit didapat dipasaran pertanda akan ada kenaikan terhadap bahan bakar minyak (BBM) jenis pertalite ini. Senada dengan dugaan masyarakat kelangkaan yang terjadi tidak terlepas dari keputusan pemerintah yang tidak mau menambah kuota BBM bersubsidi, sesuai dengan pernyataan Sekretaris Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian Susiwijono Moegiarso yang menjelaskan subsidi energi sudah terlalu besar mencapai Rp 502 triliun, jika ditambah lagi akan membuat APBN tekor.
Dilihat dari kuota BBM pertalite bersubsidi sampai Juli 2022 tersisa 6,2 juta Kilo Liter (KL) dari kuota sampai akhir tahun 23 juta KL, dan untuk konsumsi solar bersubsidi hingga Juli 2022 sudah mencapai 9,9 juta KL dari kuota sampai akhir tahun 14,91 juta KL sehingga solar subsidi tersisa 5,01 juta KL. Hal ini diprediksi kuota subsidi yang ada habis pertengahan Oktober sehingga pemerintah harus bertindak cepat dengan pembatasan atau menambah kuota dengan konsekuensi beban APBN akan bertambah (CNBC.com, 23/08/2022).
Sinyal kenaikan harga ini juga diperkuat dengan adanya pembahasan yang dilakukan pemerintah tentang rencana kenaikan harga BBM jenis pertalite dan solar. Menurut pernyataan dari Menteri Investasi dan Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Bahlil Lahadalia bahwa seiring dengan bertambahnya anggaran subsidi yang berpotensi menembus Rp 600 triliun, masyarakat harus bersiap-siap jikalau kenaikan BBM itu terjadi. Harga minyak dunia yang terus melonjak bisa mengakibatkan subsidi dari APBN mencapai Rp 500 sampai Rp 600 triliun, terkait hal ini jika terus menerus terjadi sampai kapan APBN akan kuat menghadapi subsidi yang semakin tinggi (Tempo.com, 12/08/2022).
Sungguh miris, negara yang sudah seharusnya bertanggung jawab menyediakan kebutuhan pokok publik agar mudah didapat dengan harga murah, justru beranggapan subsidi yang dikeluarkan untuk masyarakat menjadi beban APBN, padahal sudah seharusnya dana APBN diperuntukkan untuk kemaslahatan publik karena pertalite dan solar yang merupakan hasil sumber daya alam (SDA) di mana negara wajib menyediakannya untuk dinikmati rakyat.
Diduga pencabutan subsidi BBM bukan karena bertambahnya beban APBN, namun karena adanya intervensi korporasi dan asing dalam bisnis migas di tanah air, harga pertalite yang relatif murah karena disubsidi oleh pemerintah, menjadikan sulitnya kompetitor asing untuk masuk dan menjual BBM di SPBU milik mereka, sebab jika BBM masih tetap diberikan subsidi, tentunya kompetitor asing tidak akan dapat bersaing dengan Pertamina. Melalui UU migas yang awalnya Pertamina menjadi pelaku tunggal dalam sektor ini, dengan regulasi ini pemerintah menghadirkan kompetitor baru dalam bisnis migas dengan menghadirkan pihak swasta dalam industri migas, dan untuk menarik peran swasta memerlukan penyederhanaan perizinan.
Selain karakteristik industri hulu yang high technology juga membutuhkan high capital sehingga diperlukanlah investasi asing. Demikian juga pada sektor hilir diperlukan banyak pilihan dan perbaikan kualitas agar tercapai efisiensi, sehingga pada sektor hilir ini perlu adanya perubahan arah kebijakan sehingga tercium aroma untuk menyerahkan harga BBM sesuai dengan harga pasar, hal ini akan membuat pelaku usaha hilir dapat menciptakan harga yang kompetitif, ini hanya bisa dilakukan jika BBM sudah tidak lagi disubsidi.
Dengan rangkaian strategi inilah diharapkan dapat menarik investasi, karena para kompetitor tentunya tidak akan memberikan investasi mereka jika mereka tidak mendapatkan untung yang melimpah, dalam dunia bisnis kapitalis meraup keuntungan yang sebanyak-banyaknya merupakan hal yang lumrah dan sudah menjadi keharusan.
Inilah yang menjadi nafas ekonomi kapitalis, kolaborasi antara penguasa dan pengusaha menjadi lumrah pada sistem ini. Liberalisasi ekonomi dan sistem persaingan bebas menjadikan pemilik modal menjadikan sumber daya alam sebagai tambang uang bagi mereka. BBM yang seharusnya dinikmati rakyat dengan harga murah akan terus mengalami kenaikan harga, karena dijadikan sebagai ladang bisnis bagi mereka yang mampu menggunakan kekuatan modal untuk memenangkan pertarungan dalam bisnis.
Padahal dalam pandangan Islam tidak boleh pemerintah dengan alasan apapun menyerahkan pengelolaan kepemilikan umum ini dikelola oleh asing maupun korporasi, dimana untung rugi menjadi orientasi. BBM sebagai sumber energi merupakan harta kepemilikan umum sebagaimana Rasulullah telah menjelaskan sifat-sifat kepemilikan umum dalam sebuah hadis, dari Ibnu Abbas bahwa Nabi SAW bersabda:
“Kaum Muslim berserikat dalam tiga hal: air, padang, dan api.
(HR Abu Dawud).
Harta milik umum yang memerlukan biaya dan upaya untuk mendapatkan manfaatnya, maka dari itu negaralah yang berkewajiban mengelola barang tambang beserta turunannya seperti bahan bakar minyak dan sumber energi lainnya. Dan hasil dari pengelolaan harta kepemilikan umum yang dikelola negara akan dikumpulkan di Baitul Mal dan akan dipergunakan untuk kepentingan rakyat, negara juga mengatur distribusi BBM untuk kemakmuran rakyat sehingga setiap individu rakyat dapat memperoleh dan menikmatinya. Harta milik umum yang dikelola sesuai dengan aturan Islam menjadikan BBM murah hingga gratis dapat dirasakan seluruh rakyat individu per individu, baik miskin maupun kaya, muslim maupun non muslim, disebabkan negara memastikan semua rakyat akan mendapatkan haknya dengan layak.